Senin, 18 Juni 2012

makalah modal sosial


BAB I
Pendahuluan

1.1.      Latar Belakang
Dalam keseharian di sekitar kita sering menjumpai potret kehidupan yang sulit dipahami.  Pencapaian pembangunan kita selau terpuruk.  Pemerintahan silih berganti tetapi kita seperti jalan di tempat. Pengangguran tersu bertambah.  Kemiskinan semakin sulit dikendalikan. Kriminanalitas meningkat dimana-mana.  Investasi swasta semakin sulit berkembang.  Perusahaan-perusahaan industri dalam negeri semakin sulit bersaing.  Apa yang sebenarnya terjadi, Di negeri yang besar seperti Indonesia dan dengan kompleksitas persoalannya, dimensi modal sosial hampir diabaikan, jauh berada di luar alam pikir pembangunan.  Padahal, di berbagai  belahan dunia dewasa ini, kesadaran kan pentingnya faktor tersebut cukup tinggi dan sedang menjadi kepedulian bersama.  Modal sosial (social capital)  diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan, ide, kesaling percayaan dan saling menguntungkankan untuk mencapai kemajuan bersama. Sebuah komunitas terbangun karena adanya ikatan-ikatan sosial di antara anggotanya. Kita sering mendengar komunitas petani, komunitas tukang becak, perkumpulan nelayan, asosiasi insinyur dan sebagainya. Kualitas ikatan sosial akan terbangun apabila di antara warga saling berinteraksi pada waktu yang relatif lama dan mendalam. Biasanya kualitas ikatan sosial tadi akan lebih baik apabila sesama warga tergabung untuk melakukan kegiatan-kegiatan bersama dalam berbagai kelompok atau organisasi atau kegiatan kegiatan yang sifatnya sesaat.    Adanya ikatan sosial yang kuat akan berujung pada peningkatan kesejahteraan.  Modal sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat masyarakat modern.
Salah satu bagian dari modal sosial yang sangat berpengaruh dewasa ini adalah modal sosial kepercayaan (trust) yang dapat memberikan andil yang besar dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Ikatan-iktan sosial yang ada dalam masyarakat harus direkatkan dengan kepercayaan.  Modal dasar dari adanya ikatan sosial yang kuat adalah adanya kerjasama di antara anggota kelompok atau organisasi dalam hal komunitas kelurahan ikatan sosial akan terbanguan apabila ada kerjasama di antara semua warga masyarakat. Kerjasama akan terbangun dengan baik apabila berlandaskan kepercayaan di antara para anggotanya. Jika warga masyarakat  saling bekerjasama dan saling percaya yang didasarkan kepada  nilai-nilai universal yang ada , maka tidak akan ada sikap saling curiga, saling jegal, saling menindas dan sebagainya sehingga ketimpangan-ketimpangan antara kelompok yang miskin dengan yang kaya akan bisa diminimalkan.  Hal inilah yang menjadi latar belakang dari pembuatan makalah ini.

1.2.      Rumusan Masalah
1.   Apa sebenarnya modal sosial itu ?
2.   Apa pengertian kepercayaan ?
3.   Korelasi modal sosial dengan pembangunan ekonomi ?
4.   Bagaimana  potret kepercayaan yang ada di Indonesia ?
5.   Bagaimana urgensi kepercayaan dalam pembangunan masyarakat dan perekonomian ?

1.3.      Tujuan
1.   Untuk mengetahui apa itu modal sosial
2.   Untuk mengetahui apa itu kepercayaan
3.   Untuk menggetahui hubungan antara modal social dengan pembangunan ekonomi
4.   Untuk mengetahui potret kepercayaan yang ada di Indonesia
5.   Untuk mengetahui urgensi kepercayaan dalam pembangunan masyarakat dan perekonomian.


BAB II
Kerangka Teori

Selama  tiga  abad terakhir, definisi  serta  pengukuran modal  sosial  menjadi  perhatian khusus bagi peneliti-peneliti di bidang ekonomi, politik dan sosiologi. Telah banyak kajian-kajian baik secara  akademik maupun politis yang  menyatakan bahwa  terdapat  keterkaitan antara kekuatan modal sosial dengan performa institusi maupun ekonomi. World Bank, yang sebelumnya mengikuti arus neo-liberal dalam pendekatnnya kini menggunakan modal social sebagai  alat  yang  bermanfaat  dalam  mengurangi  kemiskinan. Literatur  model  sosial  telah membetikan pengaruh utama  untuk membentuk kebijakan pembangunan. Makalah ini  akan mengulas  bagaimana  perkembangan  modal  sosial  dalam  bahasan  literatur  serta  kaitannya dengan ekonomi sosial.
A.    Perkembangan konseptualisasi modal sosial
Istilah modal sosial pertama kali muncul pada tulisan Hanifan (1916) dalam konteks peningkatan kondisi  hidup masyarakat  melalui  keterlibatan masyarakat, niat  baik serta atribut-atribut sosial lain dalam bertetangga. Dalam tulisan Hanifan, tampak juga ciri lain dari modal  sosial  yakni  membawa  manfaat  internal  dan eksternal. Merujuk pada  penjelasan Woolcock dan Narayan (2000: 299), setelah Hanifan istilah modal sosial tidak begitu poluler hingga  tahun 1956, sekelompok sosiolog  Kanada  menggunakannya  dan diperkuat  dengan kemunculan teori  pertukaran  Homans pada  tahun 1961. Perkembangan  selanjutnya,  istilah modal  sosial  sering  dikaitkan dalam  pembahasan mengenai  ikatan-ikatan komunitas (community  ties).
Penelitian yang  dilakukan Coleman (1988)  di  bidang  pendidikan dan Putnam  (1993)  mengenai      civic  participation       dan performa  institusi  telah menginspirasi banyak kajian mengenai  modal  sosial  saat  ini. Adapun menurut  Woolcock dan Narayan, terdapat sembilan area yang sering dikaji menggunakan konsep modal sosial, yakni keluarga dan perilaku remaja, sekolah dan pendidikan, kehidupan komunitas, organisasi  dan kerja, demokrasi  dan pemerintahan, tindakan kolektif, kesehatan dan lingkungan, kekerasan dan kriminal, serta pembangunan ekonomi.
Meskipun formulasi  konsep modal  sosial  dibuat  oleh Coleman dan Bordieu, ahli ekonomi  yang  menggunakan konsep modal  sosial  banyak dipengaruhi  oleh karya  Putnam (1993) pada aktifitas asosiatif. Putnam menyoroti variasi keterlibatan sipil (civic engagement) yang membedakan pencapaian ekonomi dan efektivitas pemerintahan antara Italia selatan dan Italia  utara. Tesis Putnam  adalah variasi  historis keterlibatan sipil  merefleksikan perbedaan modal  sosial  yang  secara  signifikan berkontribusi  terhadap  kesenjangan hasil  ekonomi  dan efektivitas pemerintahan antara Italia Utara dan Italia Selatan. Putnam sendiri medefinisikan modal  sosial  sebagai  fitur-fitur  organisasi  sosial  seperti kepercayaan (trust),  norma-norma (norms), dan jaringan     (networks)       yang  dapat  meningkatkan efisiensi  masyarkat  dengan mamfasilitasi tindakan-tindakan koordinasi.
Kritik yang dilontarkan terhadap tesis Putnam ini antara lain definisi  yang diberikan oleh Putnam  tidak terlalu kokoh         karena  mencoba  “mencampurkan objek-objek yang  tidak sebanding”  (Dasgupta, 1999:  327). Selain itu, Fukuyama  juga  mengkritik definisi  modal sosial  Putnam  bahwa  apa yang  diutarakan Putnam  memang  dapat  menjabarkan hasil  dari adanya modal sosial tapi tidak mengangkat modal sosial itu sendiri.
B.     Sebuah perspektif kritis terhadap modal social
Terdapat  banyak ekonom  sosial  skeptis secara  filosofis dan metodologis terhadap penerapan perlakuan  modal  sosial  sebagai  variabel  independen dalam  produksi  fungsi pertumbuhan. Pertama,  hal  ini  menganggap nilai  instrumental  secara  murni  terhadap prospensitas untuk pengikatan sipil dalam lokalitas tertentu. Nilai bahwa masyarakat melekat pada  modal  sosial  menjadi  lebih besar  secara  signifikan  daripada  dampak pengukurannya pada GDP. Terdapat bukti yang meningkat yang menunjukkan kohesi sosial dan keefektifan institusional  yang  memfasilitasi  literasi  dan pendidikan, meringankan dampak kemiskinan, meningkatkan kesehatan  masyarakat, dan mengurangi  kriminalitas dan kekerasan. Terdapat bukti lebih lanjut bahwa kohesi sosial berhubungan secara positif terhadap kesehatan mental dan kebahagiaan. Sen (1999)  menuntut  bahwa  tipe-tipe  kebebasan yang berbeda,  termasuk kebebasan  interaksi  sosial  yang didasarkan pada  kepercayaan,  memiliki  nilai  intrinsik yang dipertimbangkan. Kedua, inkorporasi  mekanistik kekuasaan modal  sosial  ke  dalam  fungsi produksi adaah subyek kritik yang sama dari Hill (1999) kepada model neoklasikal. Ekonom ortodoks menggunakan  model  untuk menjelaskan penyebab ekonomi, seperti  pertama, memilih variabel  independen dan dependen. Kemudian diabstraksikan dari  realitas melalui asumsi  yang  berlawanan  dengan fakta  untuk mendapatkan pendekatan kesimpulan pertama. Penelitian statistikis pada modal sosial didasarkan pada kekuasaan tunggal atau jamak yang diagrgasikan.yang hasilnya  dalam  kehilangan konteks subyekyif  yang  dipertimbangkan dari data yang didapatkan. Fungsi produksi ekonomi terdiri dari dua variabel kuantifikatif, yaitu nodal dan tenaga kerja  yang  masing-masing  adalah bstraksi  dari  realitas. Kekuatan yang memotivasi  untuk produksi  oleh individu  juga  merupakan abstraksi  dan kekurangan nilai  untuk membuat ekonom sosial menunduk. Ekonom mainstream telah mencoba untuk menghilangkan asumsi ekonomi dasar dengan mengikatkan kembali konteksnya, termasuk mencoba untuk mengukur persediaan dan aliran keterampilan dan keahlian  manusia, inovasi, budaya, dan organisasi sosial. Karena  ekonom  telah menanggung  lebih jauh dari  abstraksi  inisial  mereka, hal  ini telah menjadi  bukti  bahwa  konteks sosial  bukanlah fenomena  dimensional-k. Beberapa peneliti  telah menggunakan teknik analisis yang  membolehkan mereka  untuk mengukur modal  sosial  sebagai  variabel  yang  tidak dapat  diobservasi  namun masih berasumsi  bahwa persediaan modal sosial dalam suatu area dapat dibandingkan dengan yang lainnya.


BAB III
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Modal Sosial
Modal sosial adalah sumber daya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru.  Seperti diketahui bahwa sesuatu yang disebut daya (resource) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan dan diinvestasikan.  Sumber daya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal.  Dimensi modal sosial cukup luas dan kompleks.  Modal sosial berbeda dengan istilah populer lainnya yaitu modal manusia (human capital).  Pada modal manusia segala sesuatunya lebih merujuk ke dimensi individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu.  Pada modal sosial, lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok dengan ruang perhatian terhadap pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota kelompok dan  menjadi norma kelompok.  Modal sosial juga sangat dekat dengan terminologi sosial lainnya seperti yang dikenal sebagai kebajikan sosial (social virtue).  Perbedaan keduanya terletak pada dimensi jaringan.  Kebajikan sosial akan sangat kuat dan berpengaruh jika di dalamnya melekat perasaan keterikatan untuk saling berhubungan yang bersifat timbal balik dalam suatu bentuk hubungan sosial (Hasbullah, 2006). 
Menurut Eva Cox (1995) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama.  Francis Fukuyama (1995) menekankan pada dimensi yang lebih luas yaitu segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, dan di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi.  Situasi tersebutlah yang akan menjadi resep kunci bagi keberhasilan pembangunan di segala bidang kehidupan, dan terutama bagi kestabilan pembangunan telah terbiasa dengan bergotong royong serta bekerjasama dalam kelompok atau organisasi yang besar cenderung akan merasakan kemajuan dan akan mampu, secara efisien dan efektif, memberikan kontribusi penting bagi kemajuan negara dan masyarakat. Dalam Anonim1 (2011) kemampuan masyarakat untuk bekerjasama demi mencapai tujuan bersama di dalam berbagai kelompok dan organisasi disebut modal sosial. Kemampuan bekerjasama muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau di bagian-bagian paling kecil dalam masyarakat. Modal sosial bisa dilembagakan (menjadi kebiasaan) dalam kelompok  yang paling kecil ataupun dalam kelompok  masyarakat yang besar seperti negara.

2.      Modal Sosial : Kepercayaan
Trust atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang di dasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya.  Dalam pandangan Fukuyama (1995), trust adalah sikap saling mempercayai di masyarakat yang memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial (Hasbullah, 2006).
Untuk itu Cara membangun Kepercayaan Menurut Anonim2 (2011) kepercayaan tidak akan tercapai dengan sendirinya, memerlukan proses untuk membangun kepercayaan secara terus menerus. Untuk menumbuhkan kepercayaan setiap kelompok (komunitas) paling tidak membutuhkan 4 hal yang mendasar, yaitu :
a.       Penerimaan
Sejak awal hubungan, setiap orang membutuhkan jaminan bahwa mereka diterima sepenuhnya, termasuk rasa aman untuk mengemukakan pendapat dan berkontribusi dalam kegiatan kelompoknya. Membutuhkan suasana saling menghargai untuk tumbuhnya penerimaan dalam kelompok, sehingga kelompok tersebut akan tumbuh menjadi komunitas yang kuat. Dalam perkembangan ikatan sosial sebuah komunitas,  saling mengenal dengan baik merupakan awal dari tumbuhnya komunitas tersebut, kepercayaan tidak akan tumbuh terhadap orang baru dengan begitu saja, perlu pembuktian dalam sikap dan perilaku masing–masing dalam waktu yang relatif lama. Sikap dan perilaku yang berdasarkan kepada nilai–nilai universal yang diyakini sebagai nilai yang berlaku di seluruh tempat di dunia seperti jujur, adil, kesetiaan, saling melindungi di antara sesama semua warga komunitas. Apabila salah satu warga  melakukan kecurangan, maka kepercayaan terhadap orang tersebut otomatis akan luntur.
b.      Berbagi Informasi dan Kepedulian
Setiap orang yang berhubungan dalam satu komunitas, agar bisa memecahkan masalah bersama, membutuhkan informasi  mengenai :
·         Kehidupan, pengalaman, gagasan, nilai masing–masing.
·         Masalah–masalah yang dianggap penting dalam kehidupan mereka.
Untuk menumbuhkan kepercayaan,pertukaran  informasi yang diberikan di antara warga haruslah informasi yang jujur dan terbuka. Informasi yang diberikan tidak akan berarti apabila dalam hubungan–hubungan tadi tidak didasari kepedulian. Setiap warga yang berhubungan dalam masyarakat akan menggunakan dan terlibat untuk memecahkan masalah di lingkungannya apabila ada kepedulian di antara mereka. Apabila warga masyarakat mempunyai kemampuan dan kemauan saling berbagi, saling peduli , maka  kepentingan–kepentingan individu akan mengalah kepada kepentingan–kepentingan komunitas kelompok.
c.       Menentukan Tujuan
Kebutuhan yang ketiga adalah untuk menentukan tujuan bersama. Setiap anggota (warga) tidak akan tertarik dan memberikan komitmen yang dibutuhkan apabila tidak terlibat dalam perumusan tujuan. Proses pengambilan keputusan akan menentukan komitmen warga dalam pelaksanaan pemecahan masalah bersama.
d.      Pengorganisasian dan Tindakan
Pada tahap awal dalam menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh seluruh anggota (warga masyarakat), memastikan ada yang akan bertanggung jawab untuk menggerakan semua kegiatan untuk mencapai tujuan, untuk itu diperlukan seorang atau sekelompok pemimpin. Dalam organisasi, kelompok, atau komunitas warga masyarakat peranan sikap dan perilaku pemimpin sangat dominan untuk menumbuhkan kepercayaan anggotanya. Perilaku pemimpin yang jujur, adil, peduli dan melindungi  anggotanya (warga), akan menumbuhkan kepercayaan dari semua unsur komunitasnya.
Berbagai tindakan kolektif yang didasari atas rasa saling mempercayai yang tinggi akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan dimensi terutama dalam konteks membangun kemajuan bersama.  Kehancuran rasa saling percaya dalam masyarakat akan mengundang hadirnya berbagai problematika sosial yang serius.  Masyarakat yang kurang memiliki perasaan perasaan saling mempercayai akan sulit menghindari berbagai situasi kerawanan sosial dan ekonomi yang mengancam.  Semangat kolektifitas tenggelam dan partisipasi masyarakat untuk membangun bagi kepentingan kehidupan yang lebih baik akan hilang.  Lambat laun akan mendatangkan biaya yang tinggi bagi pembangunan karena masyarakat cenderung bersikap apatis dan hanya menunggu apa yang akan diberikan oleh pemerintah.  Jika rasa saling mempercayai telah luntur maka yang akan terjadi adalah sikap-sikapyang menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku.  Kriminalitas akan meningkat, tindakan-tindakan destruktif dan anarkis gampang mencuat, kekerasan dan kerusuhan massa akan cepat tersulut dan masyarakat tersebut cenderung pasif, sendiri-sendiri dan pada akhirnya akan muncul perasaan keterisolasian diri.  Pada situasi yang tersebut terakhir ini, masyarakat akan gampang terserang berbagi penyakit kejiwaan seperti kecemasan, putus asa dan kemungkinan akan melahirkan tindakan-tindakan fatal baik bagi dirinya, masyarakat dan negara  (Putnam, 1993).
Trust akan kehilangan daya optimalnya ketika mengabaikan salah satu spektrum penting yang ada di dalamnya, yaitu rentang rasa mempercayai (the radius of trust).  Pada kelompok, asosiasi atau bentuk-bentuk group lainnya yang berorientasi inward looking cenderung memiliki the radius of trust  sempit.  Kelompok ini kemungkinan akan memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk mengembangkan modal sosial yang kuat dan menguntungkan (Hasbullah, 2006).

3.      Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi
Modal sosial saat ini dipandang sebagai bumbu vital bagi perkembangan pembangunan ekonomi masyarakat dunia.  Francis Fukuyama menunjukkan hasil-hasil studi di berbagai negara bahwa modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan barbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat percaya yang tinggi dan kerekatan hubungan dalam jaringan yang luas tumbuh antar sesama pelaku ekonomi (Anonim1, 2011).
Perkembangan ekonomi yang begitu cepat dialami oleh Asia Timur misalnya tidak terlepas dari kenyataan bahwa mereka memiliki tingkat kohesifitas jaringan yang tinggi.  Koneksi-koneksi yang terbentuk di Asia Timur meliputi baik koneksi keluarga maupun koneksi yang berbasis suku-suku dari China.  Walaupun berbasis keluarga atau suku, tetapi kelebihan mereka terutama pada pembentukan rasa percaya diri (networks of trust) yang dibangun melewati batas-batas keluarga , suku, negara dan agama.  Di awal abad ke 21 ini, seiring dengan keterbukaan terus dicanangkan, China telah jauh melangkah maju membangun jaringan-jaringan bisnis secara luas dan memelihara semangat saling mempercayai yang tinggi (Hasbullah, 2006).
Modal sosial (social capital) sangat tinggi pengaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan berbagai sektor ekonomi.  Di sektor pertanian misalnya, upaya pemerintah terutama di negara-negara agraris Asia, untuk meningkatkan produksi seringkali mengalami kegagalan walaupun berbagai input modal telah mengucur ke pedesaan seperti pupuk, perlatan-perlatan modern, irigasi modern, dan  berbagai fasilitas kredit yang melimpah.  Tanpa mengabaikan beberapa tekanan struktural, seperti misalnya yang bersumber dari disparitas yang tinggi atas penguasaan lahan,  kegagalan meningkatkan produksi sangat berkait erat dengan spektrum modal sosial yang sangat lemah.  Faktor ini sama sekali tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah (Putnam, 1993).
Pembangunan industri, baik industri besar, sedang mupun industri kecil akan mengalami hambatan di negara yang memiliki tingkat modal sosial yang rendah.  Modal sosial akan menghasilkan energi kolektif yang memungkinkan berkembangnya jiwa dan semangat kewirausahaan di tengah masyarakat, yang selanjutnya akan mendorong berkembangnya dunia usaha.  Industri besar yang akan dimiiliki para investor lokal maupun asing akan mungkin bertumbuih kembali di tengah masyarakat yang memiliki tradisi dan nilai kejujuran (trust), terbuka (positive externalities), dan memiliki tingkat empati yang tinggi.  Tanpa itu investor akan menghindar karena suasana ketidakjujuran, kebencian, sakwasangka, intrik dan hilangnya toleransi.  Faktor ini hampir tidak mendapat perhatian dari umumnya negara-negara berkembang sebagai dari upaya promosi investasi (Fukuyama,1995).

4.      Potret Kehancuran Kepercayaan (trust) di Indonesia
Indonesia mengalami kemiskinan trust.  Ini tidak selalu berarti kebudayaan suku-suku di Indonesia memiliki rasa saling percaya yang tipis dengan sesama anggota masyarakat dalam keluarga, kelompok dan atau asosiasi yang ada di dalam sukunya.  Kepercayaan itu, dalam beberapa hal, ada, tetapi bobot orientasinya yang miskin. Dalam perjalanan waktu dan terutama setelah mengalami lebih dari 30 tahun Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Soeharto trust yang miskin itu mengalami situasi yang bertambah parah.  Kehancurannya tidak dapat dielakkan terutama dengan beroperasinya dua mesin penghancur sekaligus yaitu faktor internal kebudayaan (dari dalam entitas sosial itu sendiri) dan oleh faktor-faktor yang berasal dari luar (kebijakan rezim dan perilaku negatif para tokoh masyarakat) (Anonim2, 2011).
Nilai dan norma yang membentuk pola budaya masyarakat suku-suku Indonesia hampir tidak mengalami revitalisasi dan berusaha menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman.  Apa yang dari dulu dilakukan secara turun-temurun hingga kini tetap berlaku, sedikit sekali penyesuain-penyesuain yang sejalan dengan tuntutan baru kehidupan.  Ketidak pedulian untuk melakukan revitalisasi budaya ini telah menyebabkan individu-individu yang ada dalam kelompok kebudayaan tersebut semakin baik, tuntutan kebutuhan ekonomi rumah tangga yang semakin berat, maka kohesifitas sosial yang pernah terjalin juga mengalami kehancuran (Hasbullah, 2006).
Kekerasan fisik berwujud pada tindakan represi bagi siapa yang berbicara tidak sejalan dengan apa yang diinginkan oleh pemerintahan otoriter.  Dalam situasi seperti  ini kemungkinan adanya inisiatif-inisiatif untuk menyatakan ide yang berbeda relatif tertutup.  Kemungkinan munculnya kreatifitas yang datang secara sukarela untuk membentuk kelompok-kelompok swadaya mengalami kemandulan.  Masyarakat hidup dalam situasi takut untuk berbuat yang tidak sejalan dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah (Putnam, 1993).
Lembaga-lembaga pendidikan formal misalnya, dimana anak-anak dididik guna mendapatkan dan memiliki pengetahuan, dan juga sebagai temapt pembentukan kepribadian dan moralitas yang baik, justru ikut berkontribusi memperlemah tingkat rasa saling mempercayai (trust) di tengah masyarakat.  Ketidakpercayaan terhadap kejujuran para pengelola lembaga pendidikan tetentu mencapai puncaknya terutama berkaitan dengan komersialisasi dan eksploitasi terhadap orang tua si anak melalui penjualan buku yang harus dibeli oleh orang tua.  Di atas semuanya, penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi diduga tetap berlangsung dimana-mana.  Di pemerintahan, di lembaga legislatif, di lembaga penegak hukum, di perusahaan-perusahaan BUMN dan di berbagai lembaga dan organisai lainnya, dan berlangsung dalam skala yang massive dan terorganisir.  Masyarakat yang kehilangan kepercayaan dan hidup dalam semangat kelompok yang inward looking akan mendorong tumbuh suburnya korupsi, tetapi pemerintahan dan masyarakat yang korup juga akan mendorong hilangnya modal sosial. Sesuatu  hal yang saling pengaruh mempengaruhi (Anonim1, 2011).

5.      Urgensi Kepercayaan (trust) dalam Pembangunan Masyarakat dan Perkonomian
Para tokoh yang dewasa ini berada di balik konsep modal sosial semuanya menyepakati akan peran penting trust sebagai energi pembangunan masyarakat.  Trust  erat kaitannya dan menjadi salah satu unsur dan sumber kekuatan modal sosial.  James Coleman (1998) menyatakan, sistem yang terbentuk dari rasa saling percaya merupakan komponen modal sosial sebagai basis dari kewajiban-kewajiban dan harapan masa depan.  Putnam (1993) lebih jauh mengemukakan bahwa trust atau perasaan saling mempercayai, merupakan sumber kekuatan modal sosial yang dapat mempertahankan keberlangsungan perekonomian yang dinamis dan kinerja pemerintahan yang efektif.  Suatu bangsa atau masyarakat yang kurang memiliki atau telah kehilangan rasa saling mempercayai, akan menjadi lemah dan sulit keluar dari berbagai krisis yang dihadapinya.  Dinamika kehidupan masyarakat akan cenderung tumpul.  Kegiatan lembaga kemasyarakatn dan perkumpulan-perkumpulan yang terbentuk di tengah masyarakat akan kehilangan orientasi dan jati diri.  Mereka akan dihadapkan pada beragam kesulitan dalam melakukan berbagai kegiatannya secara efisien dan efektif.  Rasa saling percaya adalah ruh dari institusi sosial.
Negara yang memiliki tingkat rasa saling percaya rendah (low trust) disebabkan oleh pola budaya yang berkembang terutama kaitannya dengan budaya yang terbiasa menempatkan rasa saling mempercayai hanya pada lingkungan keluarga dan kalangan teman dan relasi yang sangat terbatas.  Dengan kata lain, suatu masyarakat yang memiliki pola budaya dengan rentang rasa percaya yamg pendek cenderung akan memiliki modal sosial  yang lemah dan memperlemah masyarakat atau negara tersebut.  Ini umumnya terjadi pada negara atau daerah yang masih terbelakang dengan pola-pola kehidupan tradisional yang masih kuat mendominasi nilai, norma dan pandangan hidup masyarakatnya (Hasbullah, 2006).


BAB IV
PENUTUP

4.1.      Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas, diantaranya sebagai berikut :
1.      Modal sosial adalah kemampuan masyarakat untuk bekerjasama demi mencapai tujuan bersama di dalam berbagai kelompok dan organisasi.
2.      Trust atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang di dasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya.
3.      Untuk menumbuhkan kepercayaan setiap kelompok (komunitas) paling tidak membutuhkan 4 hal yang mendasar, yaitu :
a.       Penerimaan
b.      Berbagi Informasi dan Kepedulian
c.       Menentukan Tujuan
d.      Pengorganisasian dan Tindakan
4.      Modal sosial (social capital) sangat tinggi pengaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan berbagai sektor ekonomi. Pembangunan industri, baik industri besar, sedang mupun industri kecil akan mengalami hambatan di negara yang memiliki tingkat modal sosial yang rendah.  Modal sosial akan menghasilkan energi kolektif yang memungkinkan berkembangnya jiwa dan semangat kewirausahaan di tengah masyarakat, yang selanjutnya akan mendorong berkembangnya dunia usaha.
5.      Indonesia mengalami kemiskinan trust.  penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi diduga tetap berlangsung dimana-mana.  Di pemerintahan, di lembaga legislatif, di lembaga penegak hukum, di perusahaan-perusahaan BUMN dan di berbagai lembaga dan organisai lainnya, dan berlangsung dalam skala yang massive dan terorganisir.
6.      Suatu bangsa atau masyarakat yang kurang memiliki atau telah kehilangan rasa saling mempercayai, akan menjadi lemah dan sulit keluar dari berbagai krisis yang dihadapinya. Trust atau perasaan saling mempercayai, merupakan sumber kekuatan modal sosial yang dapat mempertahankan keberlangsungan perekonomian yang dinamis dan kinerja pemerintahan yang efektif.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim1.2011.Kepercayaan, Modal Sosial, Cegah Bencana. http://nasional Kompas.com.  Diakses pada tanggal 06 Mei 2011.
Anonim2.2011.Modal Sosial.http:// ovalhanif.wordpress.com.  Diakses pada tanggal 06     Mei 2011.
Coleman, J.S.1988.Social capital in the creation of human capital.The American Journal of Sociology, 94(Suplplement).
Cox, Eva.1995. A Truly Civil Society. ABC Books: Sydney.
Fukuyama, Francis.1995.The end of History and the last man.NY: Free Press.
Hasbullah, Jousairi.2006. Social Capital (menuju keunggulan budaya manusia Indonesia).  MR-United Press: Jakarta.
Putnam, Robert.1993.Social Capital. Pricenton University: Princenton

Tidak ada komentar:

Posting Komentar